Selasa, 15 September 2009

Tarawih di Desaku

Ketika menghadapi fenomena sholat tarawih di desaku, jiwaku bergejolak serius, hati dan pikiranku berbenturan, seakan dua pihak yang sedang berperkara di pengadilan: saling mempertahankan pendapat dan beradu argumen satu sama lain. Pusiang awak….

“Bagaimana tidak, sholat begitu cepatnya mana bisa khusyu’ ?” pikiranku langsung menyerbu, “ Dimana letak ketenangannya jika 20 rokaat selesai hanya dalam tempo kurang dari 30 menit, itu pun sudah plus kultumnya !”. Hatiku mencoba menyelah, “Tapi bukannya letak khusyu’ ada dalam ketenangan berpikirmu, tak masalah cepat atau tidak, yang penting dirimu mengondisikan untuk itu”.

“Tak logis untuk bisa bersikap tenang: surat al fatihah dalam sehembusan nafas, belum juga aku sempurna ruku’ imam sudah bersungkur mencium sajadah, kejar mengejar jadinya”, pikiranku melanjutkan, “Dimana letak ketenangan yang kamu maksud, jika untuk menyimak lantunan ayat saja aku tak bisa, mengikuti gerak gerik sang imam aku tak kuasa ?”

“Khusyu’ itu pilihan, jadi harus diciptakan, jika dirimu terlalu sibuk dengan hal-hal sepele samacam itu, habis tenagamu nanti hanya untuk sekedar mengorekasi makhraj dan tajwid bacaan imam, mencoba mengartikan ayat satu per satu, lalu memikirkan konsep tuma’ninahnya, kemudian….…”, belum selesai hati ini menjelaskan, pikiranku kembali menyerang, “Tapi bukankah semua itu perlu ?, dengan begitu kan akan mempermudah untuk mencapai ketenangan dan akhirnya menggapai kekhusyu’an, coba kamu pikir ?”

“Eh sebentar….., bukan tugasku untuk berpikir, bukan wilayahku untuk bersikap logis-kalkulatif, tanggung jawabku lebih dari itu”, hatiku melakukan pembelaan, “Sudahlah, terima saja dengan sikap legowo, damaikan dirimu, adem kan pikiranmu, dengan demikian mudah-mudahan kamu bisa menikmati sholatmu”.

“Ok deh, katakanlah aku mulai bisa mengikuti irama sholatnya, tapi bagaimana dengan khusyu’ ?, dalam ketergesa-gesaan aku masih sulit untuk mencapainya”.

“Nah, khusyu’ itu sebenarnya adalah wewenangku, tapi tetap atas persetujuan darimu. Jika dirimu bersikap untuk mampu menerima kondisi itu dengan segala kemaklumanmu, maka akan lebih mudah bagiku untuk mencapai khusyu’”

“Maklum piye to ? bagaimana ?”.

“Maklum dengan keadaan yang ada di mushola mungil desamu itu, maklum dengan kadar pengetahuan imammu, maklum dengan kondisi sosio-kultur jamaah yang ikut sholat denganmu, maklum bahwa tarawih itu tak masalah jika dilakukan dengan sedikit cepat-cepat yang penting dapat pahala yang 20 rokaat. Toh tidak dipersyaratkan syahnya sholat harus dilakukan dengan khusyu’, meskipun dalam ranah etika kepada Tuhanmu mengharuskan untuk itu”, hatiku melanjutkan, “Kalau masih ngeyel, apa kamu saja yang jadi imamnya, gimana ?”

“Edan kamu, apa pangkat dan derajatku hingga pantas mengimami tetangga kanan kiriku ?”,

“Atau kamu tak usah ikut tarawih saja, sholat sendiri di rumah, toh dulu kanjeng Nabi tercinta juga pernah melakukannya tanpa berjamaah ?”, belum sempat pikiranku menjawab, hatiku membebaninya dengan pertanyaan lagi, “Tapi bagaimana dengan budaya pertetanggaanmu, bagaimana dengan konsep silaturahimmu, bukankah tarawih berjamaah adalah forum yang bagus untuk saling tegur sapa dengan orang-orang di sekitarmu ?”

“Tapi ini kan urusan sholat, ini masalah ibadah mahdhoh, ibadah vertikal, hubungannya langsung dengan Tuhan !”,

“Iya, tapikan dengan berjamaah kamu sekaligus bisa melakukan amal horizontalmu untuk bercengkerama dengan tetangga-tetanggamu !”,

“Sholat kan tak ada urusannya dengan manusia”

“Tapi ada hak juga buat tentanggamu untuk sekedar kau tanya kabarnya, itu sebabnya sangat dianjurkan untuk berjamaah”

“Harus di bedakan dong, ini kan soal hablumminallah !”

“Hablumminnas juga !”

“Hablumminallah !”

“Minannas….!”

Tak hentinya hati dan pikiranku berdebat sampai terdengar suara pintu kamarku digedor-gedor adikku,

“Kang…kang… ayo teraweh, wis adzan tuh !”

Kediri, 11 September 2009

taken from milis karismatuai@yahoogroups.com


Senin, 07 September 2009

Masa Kecil


Banyak peristiwa pada masa kecil terpatri kuat dalam ruang memori kita sampai sekarang, yang menumbuhkan kebahagiaan atau yang mangundang kesedihan. Mungkin masih teringat dibenak kita, kenangan akan hadiah yang diterima di sekolah sebagai tanda penghormatan untuk kita, atau pujian yang dipersembahkan kepada kita di sebuah forum. Semua hampir tidak dapat kita lupakan.

Di sisi lain, kita juga terus merekam peristiwa menyedihkan yang kita alami pada masa kecil. Dari guru yang suka memukul, pertengkaran dengan sahabat, perkelahian dengan teman, perlakuan buruk keluarga, sikap ibu tiri yang kurang bersahabat, dan lain sebagainya.

Betapa kebaikan terhadap anak kecil merupakan jalan untuk memahatkan kenangan, bukan pada mereka semata, melainkan juga pada keluarga dan orang tua kita. Kecintaan mereka semua pasti dengan mudah didapat.

Banyak sekali kita lihat guru-guru TK dan Sekolah Dasar yang berkali-kali didatangi orang tua murid. Ia tiada henti memuji dan mengungkapkan kecintaan terhadap sang guru, karena si buah hati juga sangat mencintainya. Ia banyak menuturkan kebaikan-kebaikan sang guru. Nah perasaan semacam ini terkadang diungkapkan dalam perjumpaan sesaat, atau melalui hadiah atau surat.

Jadi jangan pernah meremehkan arti sebuah senyuman terhadap anak kecil, juga usaha untuk menyentuh hatinya, serta kerterampilan berinteraksi dengannya secara elegan dan ramah.


Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak

Reff:
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu

Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati

-ADA BAND-Yang terbaik Bagimu

Senin, 02 Februari 2009

Here I Am..

Ada dua macam orang, mereka yang memasuki ruangan dan berkata, “Nah, aku di sini!” dan mereka yang masuk dan berkata, “Ah, Rupanya kalian di sana.”
Frederick L Collins


Aku-Sudah-di-Sini versus Rupanya-Kalian-Di-Sana. Di saat sedih, disaat kita merasakan kepiluan yang begitu sangat, di saat kita menggigil, mereka datang dengan membawa selimut dan berkata Aku-Sudah-Di-Sini. Di saat kita sakit, di saat kita tak punya apa-apa lagi-lagi mereka datang dan berkata Aku-Sudah-Di-Sini.

Disaat kita ingin berbagi, berkeluh kesah dan membutuhkan dukungan; mereka mendengarkan dan berkata Aku-Sudah-Di-Sini. Mereka yang siap menerima dering tengah malam dan mendengar setiap keluh kesah, mereka yang takkan berpangku tangan saat kita terpuruk, mereka kan berkata Aku-Sudah-Di-Sini… dan terkadang jika di kejauhan mereka melihat kita berlinang air mata, mereka datang mendekat seraya berkata Aku-Sudah-Di-Sini, Sayangku tak usah kau cemaskan apapun karena Here I Am..

Begitulah seolah Frederick menyimpulkan tentang kebaikan sahabat, rekan, atau siapapun kita. Tak peduli dengan status, tak peduli dengan usia, tak peduli suku atau agama apapun kita. Saat kita melihat seseorang terluka maka bisakah kita menjadi Here I Am atau hanya akan menjadi “Rupanya-Kalian-Di-Sana”.

Sejatinya kebaikan tak pernah memandang apapun, kapanpun dan dimanapun. Kebaikan senantiasa kita berikan pada apapun, siapapun bahkan hewan dan tanaman. Teringat kisah seorang pemuda yang kelelahan dan kehausan. Begitu ia menemukan sumur, ia segera masuk ke dalam sumur dan minum. Setelah ia naik, ia melihat seekor anjing yang sedang menjilat lumpur karena kehausan. Ia pun bergegas untuk masuk kembali \ke sumur dan memasukkan air kedalam sepatunya lalu naik kembali dan memberikannya ke anjing tersebut. Tahukah kalian, sungguh karena sikapnya itu Allah berterimakasih kepadanya dan mengampuninya. …

Luar biasa, hanya dengan memberi minum seekor anjing saja Allah berterimakasih kepadanya. Lalu bagaimana dengan kebaikan yang lain?

Sekarang, pilihlah mau jadi seorang yang hanya melihat saudara, kerabat atau siapapun terluka dan berpangku tangan atau menjadi seorang yang takkan diam; seseorang yang bergerak mendekat, meraih bahkan menyelimuti seraya berkata Here I Am…

Here I Am, my friends…
Kubuka tangan, kubuka hati
Kubuka pintu, semua pintu dengan kemampuanku
untuk belajar
Belajar berkata Here I Am….
Belajar bergerak dengan Here I Am….
Dan sambutlah Here I Am……
2 February 2009

My Picture